Senin, 28 Desember 2009

Strategi pengembangan Perekonomian Rakyat dan Koperasi

Kondisi Koperasi

Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat,
koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Koperasi juga telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.

Dan koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.

Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi. Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.

Pembahasan tentang strategi pengembangan perekonomian rakyat pada umumnya meliputi beberapa bidang yang meliputi : Pengembangan ekonomi sektor informal, home industri, industri kecil, Industri menengah dan Koperasi. Secara konseptual pembahasan perekonomian rakyat tersebut merupakan bahasan bidang ekonomi makro yang banyak dipengaruhi oleh keberlakukan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Itulah sebabnya maka pemahaman tentang sistem ekonomi negara menjadi prasyarat mutlak bagi kita sebelum melakukan pembahasan mendalam tentang strategi pengembangan sektor informal, home industri, industri kecil, menengah dan Koperasi.

Kegiatan Usaha Perekonomian Rakyat Dalam Sektor Industri

Pada dasarnya usaha perekonomian rakyat dalam sektor industri lebih ditekankan pada kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat Golongan Ekonomi Lemah (GEL) yang tersebar diberbagai pelosok Indonesia. Hingga saat ini keberadaan sektor informal masih relatif belum tersentuh oleh kebijakan negara sedangkan keberadaan home industri, industri kecil dan industri sedang pengklasifikasiannya masih belum seragam, dan belum teridentifikasi secara jelas, sehingga menyulitkan pihak pemerintah dalam melakukan pembinaan secara
efektif dan terarah.

Menurut Biro Pusat Statistik dalam mengklasifikasi besar kecilnya kegiatan industri didasarkan pada jumlah tenaga kerjanya dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Industri rumah tangga (Home Industri) adalah kegiatan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja kurang dari lima orang.
2. Industri kecil mempekerjakan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang.
3. Industri sedang mempekerjakan tenaga kerja antara 20 hingga 99 orang dan
4. Industri besar mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Namun apabila dilihat dilapangan ketentuan tersebut banyak yang tidak sesuai, bahkan banyak ditemui sektor home industri yang mempekerjaan tenaga kerja lebih dari 20 orang, yang menurut ketentuan pihak BPS Industri ini telah memasuki wilayah industri kecil, dan banyak pula industri kecil yang mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 20 orang, yang berarti telah memasuki wilayah industri.

Strategi dan Perencanaan Pengembangan Perekonomian Rakyat

Berbicara tentang strategi perekonomian rakyat yang meliputi; sektor informal, home industri, industri kecil dan koperasi bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, oleh sebab itu harus dilakukan penuh kesungguhan, sistematis, terarah dan benar-benar tepat sasaran sesuai dengan permasalahan yang benar-benar dan dialami oleh masingmasing sektor. Pernyataan tersebut intinya adalah untuk mengingatkan kita, walaupun keberadaan perekonomian rakyat di berbagai sektor tersebut hingga saat ini sebagian besar kondisinya belum baik bukan berarti bahwa pemerintah Orde Baru lalu tidak tetapi pembinaan dan pengambangannya kurang didasarkan pada strategi yang tepat, kurang terarah, kurang sistematis sehingga tidak mengena pada sasaran yang sesungguhnya.
Dikatakan dimikian sebab, pada masa itu sedikitnya ada delapan Instansi Pemerintah yang telah berperan melakukan pengembangan perekonomian rakyat, namun hasilnya masih belum banyak bisa dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung dalam sektor perekonomian rakyat tersebut. Kedelapan Instansi Pemerintah tersebut terdiri dari : Deperindag, Depdikbud, Depnaker, Depsos, Depkeu, Bappenas dan Depkop.

Kurang maksimalnya hasil kerja berbagai instansi tersebut dalam melakukan pembinaan dan pengembangan sektor perekonomian rakyat dikarenakan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah:
1. Ketidak tepatan pihak pemerintah pusat pada waktu itu dalam memilih paradigma pembangunan, yakni paradigama pembangunan yang berorientasi pertumbuhan semata.
2. Unsur “modal” dianggap sebagai faktor utama yang bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh sektor perekonomian rakyat, sehingga pihak pemerintah cenderung menggelontor berbagai macam jenis pinjaman (kredit), tanpa perhitungan matang, yang mengakibatkan kucuran kredit tidak tepat sasaran dan banyak kredit yang tidak dapat dikembalikan. Berbagai macam kredit itu diantaranya; BIMAS INMAS, KUPEDES, KUK, KIK, KMKP KCK, DT dan KUT serta berbagai paket kredit yang lain.
3. Unsur SDM dalam melakukan pembinaan relatif terabaikan, sehingga kemampuan mereka dalam menjalankan proses produksi relatif lemah dan tidak berkembang yang berakibat pada lemahnya daya saing mereka dengan pihak-pihak lain terutama para industri besar.
4. Kurangnya perhatian terhadap pembinaan manajemen usaha, sehingga keberadaan sektor perekonomian rakyat kurang bisa dikelola dan dimanag secara efisien, boros dan tipisnya keuntungan atau laba usaha yang diperoleh.
5. Penyusunan kreteria yang dibuat oleh masing-masing instansi dalam menentukan besar kecilnya lembaga industri perekonomian rakyat masih bersifat double standard, sehingga tidak ada kesatuan gerak dan langkah dalam melakukan pembinaan.
6. Dalam melakukan pembinaan, pada umumnya tidak didasarkan pada tindakan analisis situasi sebagai langkah pendahuluan untuk menentukan masalah yang benar-benar dihadapi oleh masingmasing sektor perekonomian rakyat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada sistem pemerintahan yang sentralistik itu bahwa hampir semua perencanaan dan kebijakan pembangunan ekonomi telah ditentukan oleh pihak pusat. Sementara itu pihak pusat pada umumnya kurang menguasai kondisi dari masing-masing daerah.

Kontribusi Koperasi Terhadap UMKM

Koperasi sebenarnya dan pada hakikatnya memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia, terutama dalam usaha mensejahterakan rakyat Indonesia. Ini terlihat dari banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Koperasi sendiri untuk mengatasi pengangguran yang ada di Indonesia. Namun, walaupun pada kenyataannya sampai saat ini masalah pengangguran di Indonesia tetap belum bisa teratasi oleh Pemerintah.

Secara normatif, koperasi merupakan kegiatan bisnis dengan mendayagunakan potensi ekonomi anggotanya. Potensi-potensi anggota ini secara kolektif akan membentuk kekuatan yang besar sehingga bisa dicapai semacam skala ekonomis yang lebih layak dalam berusaha.
Dalam prakteknya di Indonesia, pengertian secara normatif ini mengalami sedikit adaptasi dengan masuknya konsep koperasi sebagai bagian dari pembangunan tersebut. Pembangunan koperasi merupakan salah satu program atau kegiatan pembangunan, sehingga pemerintah melakukannya secara top down. Jika dibandingkan dengan perkembangan koperasi di negara-negara lain, terutama negara maju yang bersifat bottom up.

Bila dicermati banyaknya jumlah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai 50 juta lebih, sangat potensi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Namun keberadaan usaha mereka barangkali masih biasa-biasa saja dan belum berkembang sehingga kegiatan usaha-usaha itu dilakukan sendiri oleh para pelakunya, atau belum melibatkan tenaga orang lain. Karena pada kenyataannya, meski jumlahnya besar tetapi pengangguran di Indonesia sampai sekarang ini masih tetap banyak.

Pemerintah sepanjang periode terus mencanangkan akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hanya saja formulasi yang diterapkan mungkin belum pas atau masih menggunakan model lain. Padahal jika komitmen memprioritaskan perhatiannya lebih besar lagi pada sektor UMKM permasalahan yang melilit bangsa berupa kemiskinan akan teratasi. Salah satunya dengan menyediakan permodalan yang mudah diakses pelaku usaha. Jika program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan membantu pelaku usaha kecil dan mikro mendapatkan permodalan, namun dalam prakteknya yang sudah berjalan dua tahun masih menemui kendala, faktanya mereka masih kesulitan mengakses akibat peraturan perbankan yang ketat. Tentu tidak ada salahnya menggunakan formula atau skema baru dan melibatkan Koperasi jasa keuangan (KJK) yang terdiri Koperasi simpan pinjam (KSP), unit-unit simpan pinjam (USP) milik Koperasi dan Koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) serta unit- unit Koperasi jasa keuangan syariah (UJKS) yang banyak dimiliki Koperasi konvensional. Dengan memberikan dukungan kesediaan likuiditas agar peran mereka kuat dalam melayani pinjaman pada anggota/calon anggota yang notabene pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Selain karena formulasi yang di terapkan oleh Pemerintah masih belum pas, di samping itu juga karena adanya kelemahn dari UMKM sendiri yang membuat semua usaha yang sudah dijalankan masih belum bisa berjalan dengan baik dan lancar.

Kelemahan dari UMKM :
1. Kelemahan dalam mengakses pasar
Karena dalam hal ini mereka kurang memiliki informasi yang lengkap dan rinci terkait pasar mana saja yang bisa ditembus oleh produk yang dihasilkan oleh mereka.
2. Kelemahan dalam akses teknologi
Kondisi ini merupakan salah satu hambatan UMKM. Karena apabila UMKM sudah mendapat mengenal akses teknologi, tentu akan mudah diterima pasar. 
3. Kelemahan dalam akses modal
Ini menjadi hambatan yang utama, karena dalam menjalankan sesuatu hal harus membutuhkan modal.
4. Kelemahan dalam manajemen keuangan
Karena mempunyai pola manajemen keuangan yang sangat rapi, kadang sulit untuk mereka membedakan mana yang keuangan perusahaan(usaha) dan mana yang keunagn rumah tangga.
5. Kelemahan SDM
Rata-rata memang SDM yang kita punya relatif kurang handal dalam bidangnya masing-masing.

Namun meski banyak UMKM yang terkendala karena sejumlah kelemahan, ternyata banyak juga UMKM yang memiliki prospek bagus dalam perkembangan bisnis. Dan selain mempunyai kelemahan, UMKM juga mempunyai kelebihan.

Kelebihan dari UMKM
• UMKM pada kenyataannya mampu bertahan dan mengantisipasi kelesuan perekonomian yang disebabkan inflasi atau berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi maupun proteksi, UMKM mampu menambah devisa negara khususnya industri kecil di sektor nonformal dan mampu berperan sebagai penyangga dalam perekonomian masyarakat kecil lapisan bawah.

Karena pada faktanya, sesuai data selama 2004-2009 dampak positif atas perkembangan Koperasi dan UMKM. Terutamanya dalam penyerapan tenaga kerja sektor Koperasi menampung sekitar 23,39%, sektor UMKM yang berjumlah sekitar 51,2 juta unit usaha atau 99,98% dari total pelaku ekonomi nasional, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97,04% dari total tenaga kerja yang terserap. Demikian kontribusi terhadap PDB juga lumayan tinggi yakni mencapai 55,56% dari total PDB nasional. Bukti lainnya adalah memiliki nilai ekspor non migas mencapai 20,17% dan investasi 52,09%, sehingga dengan kemampuan tersebut telah ikut mendorong pertumbuhan lokal dan nasional.

Untuk itu negara akan terus mengupayakan pemberdayaan terhadap koperasi. Salah satunya dengan merekomendasikan agar koperasi diberikan kesempatan sebagai penyalur untuk anggotanya.

Masih banyak lagi kontribusi koperasi tergadap UMKM di Indonesia, dan seharusnya bukan hanya Pemerintah dan Koperasi saja yang memberikan kontribusi tersebut. Tetapi semua masyarakat harus ikut serta dalam mengatasi masalah pengangguran dan pensejahteraan UMKM dan rakyat di Indonesia. Agar masalah tersebut cepat selesai dan tidak ada lagi pengangguran di Indonesia.

  

Selasa, 24 November 2009

Perkembangan Koperasi di Indonesia

Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan kegotongroyongan yang dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang bersifat nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang turun-temurun itu dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia di antaranya adalah Arisan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra cai dan ruing mungpulung daerah Jawa Barat, Mapalus di daerah Sulawesi Utara, kerja sama pengairan yang terkenal dengan Subak untuk daerah Bali, dan Julo-julo untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan sosial, nonprofit dan menunjukkan usaha atau kegiatan atasdasar kadar kesadaran berpribadi dan kekeluargaan.
Bentuk-bentuk ini yang lebih bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan, hubungan social, nonprofit dan kerjasama disebut Pra Koperasi. Pelaksanaan yang bersifat pra-koperasi terutama di pedesaan masih dijumpai, meskipun arus globlisasi terus merambat ke pedesaan.
Kemajuan ilmu oengetahuan dan teknologi pada pertengahan abad ke-18 telah mengubah wajah dunia. Berbagai penemuan di bidang teknologi ( revolusi industri ) melahirkan tata dunia ekonomi baru. Tatanan dunia ekonomi menjajdi terpusat pada keuntungan perseorangan, yaitu kaum pemilik modal ( kapitalisme ). Kaum kapitalis atau pemilik modal memanfaatkan penemuan baru tersebutdengan sebaik-baiknya untuk memperkaya dirinya dan memperkuat kedudukan ekonominya. Hasrat serakah ini melahirkan persaingan bebas yang tidak terbatas. Sistem ekonomi kapitalis / liberal memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal dan melahirkan kemelaratan dan kemiskinan bagi masyarakat ekonomi lemah.
Dalam kemiskinan dan kemelaratan ini, muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki nasibnya sendiri dengan mendirikan koperasi. Pada tahun 1844 lahirlah koperasi pertama di Inggris yang terkenal dengan nama Koperasi Rochdale di bawah pimpinan Charles Howart. Di Jerman, Frederich Willhelm Raiffeisen dan Hermann Schulze memelopori Koperasi Simpan Pinjam. Di Perancis, muncul tokoh-tokoh kperasi seperti Charles Fourier, Louis Blance, dan Ferdinand Lassalle. Demikian pula di Denmark. Denmark menjadi Negara yang paling berhasil di dunia dalam mengembangkan ekonominya melalui koperasi.
Kemajuan industri di Eropa akhirnya meluas ke Negara-negara lain, termasuk Indonesia. Bangsa Eropa mulai mengembangkan sayap untuk memasarkan hasil industri sekaligus mencari bahan mentah untuk industri mereka. Pada permulaannya kedatangan mereka murni untuk berdagang. Nafsu serakah kaum kapitalis ini akhirnyaberubah menjadi bentuk penjajahan yang memelaratkan masyarakat.
Bangsa Indonesia, misalnya dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad dan setelah itu dijajah Jepang selama 3,5 tahun. Selama penjajahan, bangsa Indonesia berada dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Penjajah melakukan penindsan terhadap rakyat dan mengeruk hasil yang sebanyak-banyaknya dari kekayaan alam Indonesia. Penjajahan menjadikan perekonomian Indonesia terbelakang. Masyarakat diperbodoh sehingga dengan mudah menjadi mangsa penipuan dan pemerasan kaum lintah darat, tengkulak, dan tukang ijon.
Koperasi memang lahir dari penderitaan sebagai mana terjadi di Eropa pertengahan abad ke-18. Di Indonesia pun koperasi ini lahir sebagai usaha memperbaiki ekonomi masyarakat yang ditindas oleh penjajah pada masa itu.
Untuk mengetahui perkembangan koperasi di Indonesia, sejarah perkembangan koperasi Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam “ dua masa ”, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan.

Masa Penjajahan
Di masa penjajahan Belanda, gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari inisatif tokoh R. A. Wiriaatmadja pada tahun 1986. Wiriaatmadja, patih Purwokerto ( Banyumas ) ini berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari hisapan lintah darat melalui koperasi. Beliau dengan bantuan E. Sieberg, Asisten Residen Purwokerto, mendirikan Hulp-enSpaar Bank. Cita-cita Wiriaatmadja ini juga mendapat dukungan dari Wolf van Westerrode, pengganti Sieberg. Mereka mendirikan koperasi kredit sistem Raiffeisen.
Gerakan koperasi semakin meluas bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional menentang penjajahan. Berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1908 mencoba memajukan koperasi rumah tangga ( koperasi konsumsi ). Serikat Islam pada tahun 1913 membantu memajukan koperasi dengan bantuan modal dan mendirikan Toko Koperasi. Pada tahun 1927, usaha koperasi dilanjutkan oleh Indonesische Studie Club yang kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia ( PBI ) di Surabaya. Partaui Nasional Indonesia ( PNI ) di dalam kongresnya di Jakarta berusah menggelorakan semangat kooperasi sehuingga kongres ini sering juga disebut “ kongres koperasi ”.
Pergerakan koperasi selam penjajahan Belanda tidak dapat berjalan lancer. Pemerintah Belanda selalu berusaha menghalanginya, baik secara langsug maupun tidak langsung. Selain itu, kesadaran masyarakat atas koperasi sangat rendah akibat penderitaan yang dialaminya. Untuk membatasi laju perkembangan koperasi, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan koperasi Besluit 7 April No. 431 tahun 1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat tidak mungkin mendirikan koperasi karena :
mendirikan koperasi harus mendapat izin dari gubernur jenderal
akta dibuat dengan perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda
ongkos materai sebesar 50 golden
hak tanah harus menurut hukum Eropa
harus diumumkan di Javasche Courant yang biayanya juga tinggi
Peraturan ini mengakibatkan munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional dan para penganjurkoperasi. Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda membentuk “ Panitia Koperasi ” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi untuk meneliti mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu memberikan laporan bahwa koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927 pemerintah mengeluarkan peraturan No. 91 yang lebih ringan dari perturan 1915. isi peraturan No. 91 antara lain :
akta tidak perlu dengan perantaraan notaries, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa daerah
ongkos materai 3 golden
hak tanah dapat menurut hukum adat
berlaku untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara adat
Dengan keluarnya peraturan ini, gerakan koperasi mulai tumbuh kemabli. Pada tahun 1932, Partai Nasional Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada tahun 1933, pemerintah Belanda mengeluarkan lagi peraturan No. 108 sebagai pengganti peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1915. Peraturan ini merupakan salinan dari peraturan koperasi Belanda tahun1925, sehingga tidak cocok dan sukar dilaksanakan oleh rakyat. Pada masa penjajahan Jepang, koperasi mengalami nasib yang lebih buruk. Kamntor Pusat Jawatan Koperasi diganti oleh pemerintah Jepang menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah diganti menjadi Syomin Kumiai Saodandyo. Kumiai yaitu koperasi model Jepang, mula-mula bertugas untuk mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat. Hal ini hanya alat dari Jepang untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan untuk Jepang. Walau hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat Indonesia mengallami penderitaan yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa penjajahan Jepang koperasi Indonesia dapat dikatakan mati.
Masa Kemerdekaan

Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah dan seluruh rakyat segera menata kembali kehidupan ekonomi. Sesuai dengan tuntutan UUD 1945 pasal 33, perekonomian Indonesia harus didasrkan pada asas kekeluargaan. Dengan demikian, kehadiran dan peranan koperasi di dalam perekonomian nasional Indonesia telah mempunyai dasar konstitusi yang kuat. Di masa kemerdekaan, koperasi bukan lagi sebagai reaksi atas penderitaan akibat penjajahan, koperasi menjadi usaha bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang didasarkan pada asas kekeluargaan. Hal ini sangat sesuai dengan cirri khas bangsa Indonesia, yaitu gotong royong.
Pada awal kemerdekaan, koperasi berfungsi untuk mendistribusikan keperluan masyarakat sehari-hari di bawah Jawatan Koperasi, Kementerian Kemakmuran. Pada tahun 1946, berdasarkan hasil pendaftaran secara sukarela yang dilakukan Jawatan Koperasi terdapat sebanyak 2.500 buah koperasi. Koperasi pada saat itu dapat berkembang secara pesat.
Namun karena sistem pemerintahan yang berubah-ubah maka terjadi titik kehancuran koperasi Indonesia menjelang pemberontakan G30S / PKI. Partai-partai memenfaatkan koperasi untuk kepentingan partainya, bahkan ada yang menjadikan koperasi sebagai alat pemerasan rakyat untuk memperkaya diri sendiri, yang dapat merugikan koperasi sehingga masyarakat kehilangan kepercayaannya dan takut menjadi anggota koperasi.
Pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah pemerintah berhasil menumpas pemberontakan G30S / PKI. Pemerintah bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kehadiran dan peranan koperasi dalam perekonomian nasional merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat. Masa pasca kemerdekaan memang dapat dikatakan berkembang tetapi pada masa itu membuat perkembangan koperasi berjalan lambat. Namun keadaannya sperti itu, pemerintah pada atahun 1947 berhasil melangsungkan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kongres Koperasi I menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain :
mendirikan sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia ( SOKRI )
menetapkan gotong royong sebagai asas koperasi
menetapkan pada tanggal 12 Juli sebagai hari Koperasi
Akibat tekanan dari berbagai pihak misalnya Agresi Belanda, keputiuasab Kongres Koperasi I belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, pada tanggal 12 Juli 1953, diadakanlah Kongres Koperasi II di Bandung, yang antara lain mengambil putusan sebagai berikut :
Membentuk Dewan Koperasi Indonesia ( Dekopin ) sebagai pengganti SOKRI
Menetapkan pendidikan koperasi sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
Mengangkat Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia
Segera akan dibuat undang-undang koperasi yang baru
Hambatan-hambatan bagi pertumbuhan koperasi antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut :
kesadaran masyarakat terhadap koperasi yang masih sangat rendah
pengalaman masa lampau mengakibtakan masyarakat tetap merasa curiga terhadap koperasi
pengetahuan masyarakat mengenai koperasi masih sangat rendah
Untuk melaksanakan program perkoperasian pemerintah mengadakan kebijakan antara lain :
menggiatkan pembangunan organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi
memperluas pendidikan dan penerangan koperasi
memberikan kredit kepada kaum produsen, baik di lapangan industri maupun pertanian yang bermodal kecil
Organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi sangat perlu diperbaiki. Para pengusaha dan petani ekononmi lemah sering kali menjadi hisapan kaum tengkulak dan lintah darat. Cara membantu mereka adalah mendirikan koperasi di kalangan mereka. Dengan demikian pemerintah dapat menyalutrkan bantuan berupa kredit melalui koperasi tersebut. Untuk menanamkan pengertian dan fubgsi koperasi di kalangan masyarakat diadakan penerangan dan pendidikan kader-kader koperasi.

Senin, 12 Oktober 2009

DEREGULASI PERBANKAN

DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia masa mendatang. Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan.

Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan. Salah satu tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.

Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank aru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.

Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Denga Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)-- atau perimbangan antara modal sendiri dan aset -- sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).

Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.


Deregulasi Dari Tahun Ke Tahun

Dari tahun ke tahun deregulasi hanya membahas permasalahan di "atas" saja. Sementara akar permasalahan yang menyebabkan distorsi dan ekonomi biaya tinggi ekonomi RI belum tersentuh. Inikah deregulasi setengah hati? Atau hanya sekadar "gincu" menjelang Sidang CGI pada 11-17 Juli 1997 di Tokyo Walau terlambat tiga hari dari jadwal yang direncanakan, akhirnya pemerintah mengumumkan paket deregulasi 7 Juli 1997. Isinya: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya pemerintah belum mau "menyentuh" dalam deregulasi yang diumumkan oleh Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar'ie Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.

Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar permasalahan, yang saat ini, banyak "melilit" perekonomian Indonesia. Seperti, masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi. Kalau pun ada "keran" yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen tunggal dan perusahaan yang mendapatkan "status" importir yang ditunjuk.

Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih sama dengan deregulasi sebelumnya. " Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun," kata Faisal H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI. Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini dianggap sebagai "kosmetik" saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia. Padahal, hampir setiap tahun pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam dekade 80-an dan 90-an:
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.

Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.

Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.

Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.

Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.

24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.

Tahun 1988
tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.

21 November 1988
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.

Tahun 1990
Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.

Mei 1990
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit, dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak, beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi, apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat. Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru. Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan 387 pos baru.

Tahun 1991
Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali "meluncurkan" serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.

Tahun 1992
Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.

Tahun 1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.

10 Juni 1993
Pemerintah kembali "menggebrak" lewat paket deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.

Tahun 1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada PMA untuk "menabur" duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya, bidang pers salah satunya.

Tahun 1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.

Tahun 1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.

4 Juni 1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.

Tahun 1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif, pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak 7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama. Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen. Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang hingga Rp 300 juta tanpa PEB. Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18 Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah, guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara. Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara, penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan lembaga non departemen. Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing. Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS). Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng, yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.

Prinsip Organisasi

7 Prinsip Organisasi:
  1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
  2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
  3. Pembagian SHU di bagikan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-masing anggota
  4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
  5. Kemandirian
  6. Pendidikan perkoprasian
  7. Kerja sama antar koprasi
Pengertian dari 7 prinsip organisasi tersebut adalah:
  1. Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koprasi tanpa ada paksaan dari pihak lain . Terbuka, yaitu bagi siapa saja yang ingin masuk dalam keanggotaan perkoprasian di bolehkan, dan dalam perkoprasian masing-masing anggota harus bersikap terbuka untuk kemajuan koprasi tersebut.
  2. Demokrasi, yaitu semua kegiatan dalam perkoprasian di lakukan atau di kerjakan secara bersama oleh semua anggota, untuk semua anngota khususnya dan umumnya untuk masyarakat luas agar semua yang di kerjakan dapat di manfaatkan dengan baik oleh semuanya baik para anggota maupun pihak lain.
  3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai jasa para anggota tersebut dalam memajukan koprasi yang mereka bangun. Karena dalam suatu organisasi pasti setiap orang mempunyai peran yang berbeda-beda, dan karena itu juga demi adanya keadilan dalam perkoprasian, maka pembagian SHUnya di sesuaikan dengan jasa yang telah di berikan para anggota-anggotanya.
  4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal maksudnya, dalam membangun suatu badan usaha seperti koprasi pasti membutuhkan modal. Jadi dalam pemberian balas jasa pun harus tergantung pada modal, karena jika pemberian balas jasa tidak berdasarkan modal, akan terjadi kekurangan dalam keuangan koprasi tersebut. Jika ada kekurangan keuangan maka koprasi tersebut tidak dapat di jalankan lagi karena kekurangan modal.
  5. Kemandirian, yaitu koprasi sebagai sebuah badan usaha harus dapat mandiri dalm melakukan pengelolaan semua kegiatannnya termasuk dalam mengelola usahanya.
  6. Pendidikan perkoprasian merupakan hal yang penting dalam pembinaan dan pengembangan koprasi karena keerhasilan atau kegagalan koprasi tergantung pada tingkat pendidikan dan partisipasi anggota. Oleh karena itu pendidikan sangat diperlukan untuk memberikan bekal yang memadai kepada para anggota koprasi.
  7. Kerja sama antar koprasi sangat diperlukan untuk kemajuan koprasi tersebut. Oleh karena itu dalam suatu badan usaha seperti koprasi dibutuhkan kerja sama para anggota maupun antar koprasi untuk pengembangan koprasi terrsebut.

Senin, 28 September 2009

Pengalaman berkoperasi di SMA 1 Barunawati

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya bedasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakn ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dan anggota-anggotanya. Koperasi juga didirikan di lingkungan sekolah. Pengertian dari koperasi sekolah yaitu koperasi yang didirikan dilingkungan sekolah yang anggotanya terdiri atas siswa sekolah. Koperasi sekolah dapat didirikan pada bebagai tingkatan sesuai jenjang pendidikan, misalnya koerasi yang didirikan di SD, SMP, SMA, Madrasah dan Pesantren. Didirikannya koperasi di sekolah yaitu untuk memberikan pengetahun dan mengajarkan bagaimana cara bekoperasi yang baik melalui praktek langsung di sekolah tersebut.

Kegiatan-kegiatan yan dilakukan di koperasi sekolah SMA saya yaitu transaksi jual beli antar siswa-siswa, guru-guru dan karyawan sekolah. Di koperasi sekolah saya menjual semua keperluan siswa-siswa sekolah, seperti alat-alat tulis, seragam sekolah, makanan-makanan kecil yang harganya terjangkau tapi mengenyangkan, penunjang kelengkapan seragam sekolah dan kebutuhan perempuan pun tersedia di koperasi tersebt. Jika saat istirahat tiba pasti koperasi sekolah langsng dipadati oleh siswa-siswa yang ingin jajan untuk mengisi perut mereka. Suasana yang tadinya tenang pun menjadi gaduh oleh para siswa yang saling berebutan untukj ajan di koperasi. Karena mereka umumnya ingin terlebih dulu dilayani , jadi mereka saling berebutan. Walaupun harus seperti itu setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu kami senang melakukannya. Justru itu yang membuat kangen dan ngin seperti itu lagi sekarang.

Yang menjaga koperasi sekolah adalah anggota operasi yaitu para siswa. Tetapi jika jam pelajaran, biasanya yang menjaga koperasi sekolah adalah para guru yang tidak ada jam mengajar. Jika semua guru mengajar, koperasi sekolah tutup dan baru akan buka kembali pada saat jam istirahat berikutnya, karena di sekolah saya kegiatan belajar mengajar sampai menjelang sore maka kami mendapat kesempatan 2 kali istirahat.

Tujuan koperasi sekolah adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tata perekomnomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan pambentukan koperasi sekolah dikalangan siswa dilaksanakan dalam rangka menunjang pendidikan siswa dan pelatihan dalam berkoperasi. Dengn demikian, tujuan pembentukannya tidak terlepas dari tujuan dan progam pemerintah daammenanamkan kesadaran berkoperasi sejak dini.